Desa Meko merupakan desa strategis berada di posisi sentral Kecamatan Pamona Barat yang juga sebagai Ibukota Kecamatan. Dengan letak yang strategis itu banyak potensi yang bisa dikembangkan dan digali lebih maksimal lagi oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat.
Sejarah desa Meko dimulai pada tahun 1998 tanah wilayah desa meko dihuni sekitar 22 kepala keluarga yang terdiri dari dua desa, yaitu : 2. Kepala kepala keluarga dari desa Pandayora, 20 kepala keluarga dari desa Taipa. Karena kesuburan tanah wilayah Meko, dan kepala desa Taipa melihat bahwa dari 22 kepala keluarga yang awalnya mendiami tanah Meko, maka diangkatlah seorang pemimpin sebagai kepala dusun yaitu Bapak D.J Lioso, mulailah Meko dikenal sebagai dusun Desa Taipa.
Arti nama Meko: Kata Meko berasal dari bahasa bada yang sebutannya Maiko. Maiko dalam arti bahasa bada adalah suatu kata ajakan atau panggilan kepada orang untuk diajak keseberang danau poso untuk melawan orang Onda’e. sehingga orang tua dulu sudah menyebutnya tanah wilayah ini adalah Meko.
Sejak pembentukan dusun samapai nama desa, kata meko sudah ditetapkan sebagai nama desa yang telah diartikan meko adalah perkumpulan masyarakat atau orang dari berbagai etnis dalam bentuk kemajemukan.
Desa meko sangat mengikat hati bagi penduduknya maupun bagi siapa saja yang datang di desa ini karena memiliki panorama yang indah dan memiliki dataran yang luas. Sungai yang melintasi desa meko ada 3 sungai yaitu : 1. Sungai meko, 2. Sungai yang disebut sungai ampu-ampu, dan 3. Sungai masea. Dalam kemasyarakatan desa meko, mereka menciptakan sebuah semboyan motto sintuwu maroso yang berasal dari bahasa daerah pamona artinya, Sintuwu artinya persatuan, maroso kuat/memperkuat. Semboyan ini mempunyai makna yang sangat luas serta nilai persaudaraan, kebersamaan, semangat dalam pembangunan sebagai alat perekat sekaligus pemusatan menjadi benteng yang kokoh bagi masyarakat desa meko dalam melaksanakan berbagai aktifitas kehidupan.
Desa meko memiliki dataran yang sangat luas dan tanah yang sangat subur sehingga di datangi penduduk dari desa wilayah kabupaten poso dan dari Sulawesi selatan dan sekaligus telah memilih untuk hidup menetap di desa meko. Hidup gotong royong yang diajarakan dan diamanatkan nenek moyang masih sangat terasa di desa meko, gotong royong ini misalnya pada waktu pembuatan rumah, pada waktu penggarapan tanah, menanam padi di sawah, dan pada waktu panen padi,pembuatan bendungan bahkan saluran air yang mengairi persawahan, kerja bakti dan lain-lain.
Kegotong royongan ini dalam bahasa daerah adalah disebut “Mesaley” dalam kegotong royongan ini juga terjadilah keramahtamahan penduduk yang sudah bercampuran yang datang dari berbagai-bagai daerah, yang berbeda-beda suku, ras dan agama.
Sejak dari tahun 1988 sampai tahun 2004 desa meko masih berstatus dusun kemudian pada Tahun 2005 desa meko sudah menjadi desa definitif.